Past

If we’re think that thing is bad, that thing will be bad
But if we’re think that thing is good, that thing will be good

‘Bagaimana rasanya menunggu orang selama tiga tahun?’
‘Dan bagaimana rasanya jika penantian tersebut tidak ada hasil?’
‘Kepercayaan hilang, merasa kecewa, dan tentu saja trauma.’
Kepercayaan diri hilang,
‘Merasa tidak akan ada orang yang akan dipercaya lagi. Tidak akan pernah ada. Semua orang jahat dan tidak pernah mengerti aku.’

Itu adalah secuplik pikiranku ketika hal itu terjadi. Semua angan-anganku hanyut bersama setiap detik jam yang terus berputar. Semua terasa sangat datar dan tidak ada yang spesial. Berbeda sekali 180 derajat dengan apa yang ku impikan.
Memang bukan hakku untuk mendapatkan semua apa yang ku inginkan menurut angan-anganku. Namun, ini berbeda. Aku merasa ini berbeda dari angan-angan biasa. Dibalik angan-anganku, ada ikatan janji yang selalu ku nantikan.
Tidak ada yang spesial dari janji itu. Hanya deretan kata yang dulunya tertulis dan ku baca di layar ponselku. Sebuah kata-kata yang menguji diriku.

“Tunggulah aku sampai kita berada di bangku SMA. Disaat itulah kita bisa meresmikannya”

Kata-kata tersebut, hanya bisa ku ingat untuk sekarang. Memang aku tidak mengharap lebih, tapi aku merasa kecewa ketika disaat aku menunggu janji itu terjadi, sebuah penantian kosong saja yang ku dapat.

Merasa kecewa,
Itulah hal pertama yang kurasa ketika aku terbangun dari tidur lelapku. Keesokan harinya ketika mataku menatap kosong ke layar ponselku. Disana hanya tampak sebuah foto kecil dari idolaku—yang saat itu menjadi wallpaper ponselku. Kalian tau rasanya patah hati? Ya, sejenis itulah yang saat itu kurasakan.

Yang menjadi menyakitkan lagi, aku harus menatap wajah ‘tersangka’ ketika aku disekolah. Bahkan saat itu aku berharap sekali dia membicarakan tentang janji itu ketika di kelas. Namun, sekali lagi itu hanya angan-anganku, tidak akan pernah terjadi! Dan aku merasa trauma akan hal tersebut.

Trauma,
Satu kata itu yang terbesit dalam kepalaku. Ini sudah dua kalinya, ya, aku trauma karena urusan dengan ‘cowok’. Karena itu, aku berjanji pada diriku tidak akan percaya dengan orang kalau tidak ada bukti. Aku tidak perlu sebuah janji, yang kubutuhkan adalah sebuah bukti yang jelas didepan mataku.

Karena aku ini adalah tipe orang yang akan selalu percaya dengan orang kalau memang dia sudah membuktikan perkataannya. Tapi, kalau dia berani berbohong kepadaku berkali-kali dan membuat kepercayaanku tersebut luntur, sulit bagiku untuk percaya lagi.

~ 23 Mei 2009 ~
23.00 WIB
“Awal mula kejadian terjadi”

~ 24 Mei 2009 ~
21.00 WIB
“Sebuah Janji yang Tertulis”

Tapi semua itu hanya kenangan. Beruntung karena sekarang aku sudah bisa memeluk orang yang bisa membuat gumpalan esku leleh. Aku tidak menyalahkannya, dan aku tidak mau hubungan kita berakhir karena itu. Kami masih bisa bersahabat, ya, memang sekarang kami bersahabat.

Terkadang pun kami bercanda tentang hubungan kita dulu. Karena hanya kami berdua saja yang tau tentang apa yang terjadi dulu, sahabat-sahabat kami tidak akan pernah mengerti pembahasan apa yang kami jadikan bahan candaan. Yang lebih menggelikan lagi, dia sering membanding-bandingkan dirinya dengan orang yang ku gandeng sekarang. Aku hanya bisa tertawa bahagia, karena aku tidak kehilangan siapapun.

Awalnya memang aku tidak percaya padanya. Tapi, setelah berpikir berkali-kali, dia melakukan itu pasti ada alasan tertentu. Entah apa. Jadi, lambat laun aku mulai percaya lagi padanya. Dan aku berharap kami bisa menjadi sahabat sampai nanti.

Komentar

  1. Aichan, you inspiring me :')
    Emang nggak ada yang pernah tau rencana Tuhan ya...
    Rencana kita memang baik, tapi rencana Tuhan yang terbaik kan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Cerita itu pelajaran yang berharga banget bagiku
      Cukup aku aja yang gitu, belajarnya dari ceritaku saja :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Trivia] Kemunculan Pertama Haibara Ai (+ Review)

[Re-watch] Kuroko no Basuke Episode 75.5 (OVA)